Minggu, 15 Mei 2016

Lipatan dialog dini hari



Ujung malamku menyelipkan beberapa ingatan. spontan membuat lengkungan senyum sembari sesekali memeluk  segelas hangat ke tiga di akhir pekan ini.
Berbicara soal weekend,  kebanyakan dari kita memaknai sabtu dan minggu tak hanya sebagai nama hari dalam perpektif waktu, tapi juga menjadi ruang komparasi untuk mengantagoniskan hari lain. Misalnya Monday yang enteng dianggap akronim dari MONsterDAY. Apa salah senin? Toh senin  hanya sebuah nama yang melekat pada sebuah hari, sama seperti nama yang melekat pada ke”aku”an kita. Jadi berterimakasihlah terhadap senin, coba jika senin tidak dinamai senin, tapi dinamai mita (misalnya). Apa kalian sanggup mencederai keindahan nama itu? (kemudian muntah berjamaah).
Anggap saja itu konsekuensi saat Weekend dipahami sebagai momentum untuk membebaskan diri dari rutinitas pekerjaan dan tanggung jawab formalistik lainnya. Mungkin inilah yang oleh Muhammad Ridha yang dalam bukunya dikategorikan dan terdefinisikan sebagai waktu senggang. Sebuah karya menarik yang menjadi bahan kupasan kegiatan bedah buku kawan2 di Makassar tadi malam. Sebuah dialog yang ingin menilik kerentanan perempuan menjadi bidikan empuk budaya konsumerisme dalam pemanfaatan waktu senggang. Ya, sebuah upaya polarisasi gaya hidup agar tetap terseret pada ceruk kepentingan utama korporasi yakni profitabilitas.
Oh iya melalui coretan ini, mohon maaf atas ketidak sempatanku memenuhi undangan teman2 sekedar merompa rompai (baca: turut meramaikan) kegiatan, turut menuangkan pandangan standar dari perempuanG yang sedang setengah senggang ini.

Menyinggung “waktu senggang” dalam konsepsi general, kebanyakan dari kita menspesialkan  malam minggu sebagai wujud apresiasi waktu senggang. Satnite, yah sebuah modifikasi global atas diksi malam minggu, khususnya pada lebensraum anak muda kekinian. Sehingga ritual satenite pun seakan harus diaktualisasikan dengan aksi kekinian. 
Ah sayang, hal tersebut rupanya kontras dengan satniteku kali ini, apakah ini indikasi ketidak mudaan saya? whatever. saya hanya ingin sok bijak mengamini bahwa kemewahan bukan garansi kebahagiaan dan kenyamanan.
Sekedar berbagi kisah, Kemarin satnite kulalui dengan menapaki kelokan kelokan jalan di atas mobil pickup pengantar bibit padi para tani di sebuah desa di Gowa, mobil yang rela memberi saya tumpangan di saat genting. Nyaman, saya menikmati perjalanan yang pada dasarnya bukan untuk bersatnite ria, melainkan perwujudan sikap tanggung jawab sebagai perempuanG panggilan (baca: kaum freelance). Keasikan perjalanan itupun memicu dialog ringan antara saya, bapak yang mengumudi, beserta anaknya yang duduk di tengah. Kami berdialog dengan bahasa sederhana  namun dengan intonasi yang menggebu bermaksud mengimbangi kibasan angin yang nyaris lebih ribut dari suara kami. Sesekali kami menemukan analogi kritis nan menggelitik dalam pembahasan yang random itu. Mulai dari ranah pendidikan, situasi perekonomian, sampai pada kebijakan kantong plastik berbayar.  Dalam jeda pembahasan, kadang saya refleks menggoyangkan kepala seakan terpengaruh musik dangdut pilihannya, sama seperti saat larut dalam lantunan alter bridge. Satu lagi, kalian harus takjub mengetahui bahwa di tengah antusiasme bapak pengemudi mengorasikan pendapatnya, kecepatan kemudinya tak ikut kendor, dan dengan lincah mampu menghindari  lubang liar yang betebaran. kukira itu satnite yang romantis. Setidaknya menghadirkan sedikit penyadaran bahwa setiap moment genting kadang perlu disiasati dengan kenekatan, kenekatan yang  akan menghadiahi kita cerita menarik melebihi ekspektasi pengguguran tanggung jawab.
Bapak dan mobil pickup itulah pendukung penuh keberangkatan saya di malam yang lumayan larut. merekalah musabab hingga saya sampai di sini,  daerah dataran tinggi di kabupaten gowa, yang tentunya lebih familiar jika langsung kutulis “Malino”. Salah satu objek yang  kebanyakan orang menjadikan daerah ini sebagai opsi untuk menghabiskan waktu senggangnya.
untuk masyarakat sulsel, siapa yang tak tahu malino? Lembah, gunung, air terjun, pinus, sampai tenteng dan  markisa  adalah  ornamen2 yang melekat pada eksistensi wilayah tersebut, sebuah given icon yang terkonstruksi untuk memelihara ingatan masyarakat tentangnya. Ingatan yang mampu merefleksikan pemaknaan realitas social, dan tak jarang melahirkan wacana2 analitis tentang apa yang bergeser dan apa yang utuh dari sekelumit fenomena yang ada.
lembah, gunung, air terjun, merupakan keniscayaan untuk mentaswirkan keindahan dan kuasaNya. Para pecinta Alam bahkan rela menaklukan ketinggian dan semak belukar, sekedar mengapresiasi ketakziman dan kesyukurannya. Dulunya Climbing, hiking, dan penamaan serupa dengan itu boleh dikata merupakan aktivitas yang memiliki batasan segmen yang jelas (terkait populasi pencinta alam). Namun semuanya berubah, terlebih pasca boomingnya film 5 cm. ah gaees, berubahnamo kehidupanga. Sadar atau tidak (semoga sadar), mendaki sebagai aktivitas pecinta alam pun kini bergeser menjadi trend kekinian penegas ke’gaul’an para muda (yang tua minggir dulu). Belum lagi dukungan paras artis yang mengendorse itu memenuhi syarat patut untuk digandrungi, sehingga tak butuh waktu lama memberi pengaruh kolektif yang berujung pada  tuntutan “keinginan ekonomi” para labil.
Jika dulu “Pecinta alam” melakukan perjalanan ekstreem bermaksud menemukan ruang dialog bersama alam atau setidaknya membuka pikiran berdialog dengan diri sendiri, sekarang kebanyakan dari kita (bisa jadi termasuk saya) mendaki untuk membuka ruang dialog pada aplikasi media social saja, sekadar aktualisasi diri berharap mendapat ratusan like dan comment sanjungan. aku mendaki, aku berselfie, maka aku ada. moody gaul like this. Perjalanan yang mainstream, sungguh.
Belum lagi soal pinus, pohon yang juga menjadi icon  malino. Di balik kokohnya pohon yang berderet menjulang tersebut, ia sedang merepresentasikan sebuah ancaman konflik antara stakeholder. Hutan Pinus, apakah Hutan Adat ataukah Hutan Negara? Urgensi kebijakan kemudian (seakan) menunjukkan tajinya, memberi ketegasan garis diametral melalui hirarki penguasaan antara Hak Negara, hak komunal dan hak individual. Sebagai awam hukum, saya selalu skeptis memaknainya sebagai pa’balle toli (baca: obat telinga), toh kita tidak bisa menafikan bahwa kebijakan yang ada cenderung tidak implementatif. Dengan kata lain, syndrome labilitas pun tidak hanya menjangkiti masyarakat sebagai subjek. Tetapi juga pada produk hukum yang dianggap sebagai kebijakan namun kontrafaktual dalam realitas sosialnya. Lagi2 ini menyoal tentang penguasaan ruang ruang produksi, bibit ketimpangan dan pemberangusan hak ada di sana.
Ah, sudahlah. Mungkin terlau bacrit dan sok peduli saya menanggapi fenomena ini. sudahlah, untuk sementara biarkan saya skeptis. Mataku mulai sayu, mungkin ingin tidur.
Sekali lagi maaf atas berbagai moment ketidak senggangan waktuku di waktu senggangmu. pun sebaliknya.  semoga silaturahim tak renggang temans.
Izin, sebelum berdoa biarkan saya melipat ingatan, melipat ingatan pada kisah lain, tentang segelas hangat dipeluk genggaman. yah, mungkin ini tentang dia. Dia dan kesederhanaannya.

Sabtu, 23 April 2016

Dari Jiwa yang Satu


Kemarin kudengar perjuangan akan kaumku
Kertas lusuhpun rela  terinjak deret alphabet demi  kisahkan dirinya
Jika sejarah hanya rangkaian hidup, mati, kemudian berlalu oleh bingkisan cerita
Sialah Minadzhdzhuulumaati ilaan nuur…
Yahh, habis gelap terbitlah terang hanyalah pesan kata yang melompong

CiptaanNya menjadi ladang tanya, menuai kerut indah pada kening kian menua
Engkau  hanya citra kekuatan, begitupun dengan dia yang kuat tanpa keperkasaan
 Sangsikan saja… pada tanah semua kaki menginjak di atas asal kita
Bukan merendahkan,  tapi sebuah konsekuensi logis atas mampu kira-ku pada adam

Aku benci pada skeptisku…
Yang tak mampu menginterpretasikan gumpalan darah dari hasil nafsi kita
Jika teristimewa mengapa  tak dari bongkahan emas saja?
Ahh, aku tak mau ikut pada dosa sejarah itu


Melalui peradaban kumengenal engkau dan kaumku di titik beda
Hari ini bukan lagi jeritan tangis tak bersuara, lalu diam tanpa senyuman
Tapi kutemui modernitas bebas,  bebas memenjarakan jati diri entah siapa
Mutlak Sejarah tak kembali, tapi jeruji penistaan akan wujudnya tak terelakkan

Dia hanya jiwa, begitupun kamu yang terpungkiri akan tulang rusuk yang membanggakan
Dia punya fitrah, begitupun kamu yang tak pantas membatasi dan menjinakinya
Lalu  mengapa hendak membeda?
 Jika qodrat telah menjawab

Tanpa sadar kata, kita meng-iyakan wajah kesempurnaan yang jauh dari ke-Esa-an
Yahh lihatlah ada manifestasi keberadaanNya pada kita
Pada kita, dari jiwa yang satu dari keadilan Tuhan





 " kaki melepuh di hari kartini"  created on 21'04'11

Selasa, 12 Januari 2016

Menggugat Sujiwo Tejo



Senjaku menggugat…
Tidak ada aroma kopi di ujung sore, kopi yang kata A.H adalah media pelarian. Pelarianku menanti saat dimana siluet tangan kiri kita membujuk gunung menyembunyikan mentari di beberapa senja mendatang.

Cangkirku pun menggugat…
Cangkirku adalah loyalis sejati, tidak peduli sepekat apa warna yang kusiramkan, pada derajat celcius berapa yang kutuangkan. iya pasrah terhadap nasib kosongnya yang menganga, seakan tak sengaja merepresentasikan hati para jomblo. Jika cangkirku sudah begitu pasrah, harusnya tidak adalagi yang memperdebatkan indikator kepantasan  populasi penikmat kopi.
Namun tidak dengan mbah Sudjiwo Tedjo. Presiden Republik Jancukers itu mencoba mengubah pola konsumtif rakyatnya dengan asumsi bahwa kopi dan rokok adalah dua variabel yang menyatu dalam satu partikel. Ia heran terhadap manusia yang suka ngopi tapi tidak ngerokok. Jika ia heran dengan hal seperti itu, harusnya ia lebih heran pada ke-akuan-nya, manusia berambut panjang tapi berkumis. hehehe… (ampun mbah)

Hatiku menggugat sujiwo tejo…
Ahh sia*! saya lupa beliau adalah presiden, penguasa di sebuah negara yang proses terbentuknya tak banyak orang paham, apakah melalui proses perjuangan menuju kemerdekaan ataukah melalui ledakan big bang. Jika ku gugat, pastinya barisan some people loyalists beliau akan menyerangku. sementara aku? hanya bertumpu pada something loyalis… yah sebuah cangkir yang pasrah.

Mbah… di ujung senja ini maaf jika saya berharap Tuhan mencukupkan rezekimu sebagai presiden jancukers yang profesional, berharap asumsimu ini bukan strategi kode keras kepada produsen rokok mengenai niatanmu menjadi  celebrity endorser. ;)
Harusnya mbah tidak menyembunyikan pemahamannya bahwa Kopi adalah Kebutuhan gender praktis, kebutuhan yang diidentifikasi dapat menolong kaum perempuan dalam posisi subordinatnya di masyarakat. Kebutuhan yang mampu memanipulasi sekitar bahwa dia adalah jiwa yang kuat. Di lain maksud, ia sedang berusaha menginstruksikan tentang cara sederhana untuk berdamai dengan rasa. Seperti sepenggal kutipan dalam cerpen Titipan Sebotol Hujan Untuk Sapardi: "Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih pahit"
Mbah… sebenarnya marahku ini sekaligus kode kepada dia (yang entah siapa). Kode kepada someone yang pastinya akan jauh lebih berarti dari something loyalis,   someone yang kelak akan memiliki beberapa “sebab marah” padaku.
Marah ketika saya lupa memakai lotion anti nyamuk saat mengetik, lalu akan kudiamkan beberapa detik kemarahannya sambil mencari icon shutdown, dan bergegas kubayar kemarahannya dengan segelas kopi keadilan rasa.
Marah ketika aku membaca sambil berbaring, lalu dengan sigap kusandarkan kepalaku pada pundaknya yang ikhlas, bercakap tentang ide, tentang rencana2 besar, sesekali menyelinginya tentang kelucuan hidup yang harus ditertawai.
Marah yang seperti ini tak masalah kan? Kata tetangga temanku, antara marah bernada kritikan dan marah bernada hinaan itu beda tipis. Serupa tapi tak sama, yang membedakan adalah cara dan niatnya. Kelak marah kita (iya.. aku dan kamu) adalah cara menguatkan akar, bukan cara membakar pohon.

Dan semoga kata aamiin selalu mendarat pada doa yang baik. Seperti rindu yang selalu mendarat pada dinding coretanku ini. coretan yang konsisten dengan ketidak konsistenan genrenya yang uncontrollable, kadang sok radikal, sok liberal, sok idealis kadang juga sok puitik dan romantis. Mencoret adalah caraku mendeskripsikan fajar, siang, senja, dan malam. Mencoret adalah caraku menyatukan kejujuran dan kebohongan tanpa mengkompromikan keduanya. Mencoret adalah caraku merayakan kemerdekaan indvidual tanpa terikat pada keharusan universal. Coretanku adalah otoritasku bermain dengan kata, bercakap dengan apa yang samar.