Ujung malamku menyelipkan beberapa
ingatan. spontan membuat lengkungan senyum sembari sesekali memeluk segelas hangat ke tiga di akhir pekan ini.
Berbicara soal weekend, kebanyakan dari kita memaknai sabtu dan minggu tak hanya sebagai nama hari dalam perpektif waktu, tapi juga menjadi ruang komparasi untuk mengantagoniskan hari lain. Misalnya Monday yang enteng dianggap akronim dari MONsterDAY. Apa salah senin? Toh senin hanya sebuah nama yang melekat pada sebuah hari, sama seperti nama yang melekat pada ke”aku”an kita. Jadi berterimakasihlah terhadap senin, coba jika senin tidak dinamai senin, tapi dinamai mita (misalnya). Apa kalian sanggup mencederai keindahan nama itu? (kemudian muntah berjamaah).
Berbicara soal weekend, kebanyakan dari kita memaknai sabtu dan minggu tak hanya sebagai nama hari dalam perpektif waktu, tapi juga menjadi ruang komparasi untuk mengantagoniskan hari lain. Misalnya Monday yang enteng dianggap akronim dari MONsterDAY. Apa salah senin? Toh senin hanya sebuah nama yang melekat pada sebuah hari, sama seperti nama yang melekat pada ke”aku”an kita. Jadi berterimakasihlah terhadap senin, coba jika senin tidak dinamai senin, tapi dinamai mita (misalnya). Apa kalian sanggup mencederai keindahan nama itu? (kemudian muntah berjamaah).
Anggap saja itu konsekuensi saat Weekend dipahami sebagai momentum untuk membebaskan diri dari rutinitas
pekerjaan dan tanggung jawab formalistik lainnya. Mungkin inilah yang oleh Muhammad
Ridha yang dalam bukunya dikategorikan dan terdefinisikan sebagai waktu senggang. Sebuah
karya menarik yang menjadi bahan kupasan kegiatan bedah buku kawan2
di Makassar tadi malam. Sebuah dialog yang ingin menilik kerentanan perempuan menjadi bidikan
empuk budaya konsumerisme dalam pemanfaatan waktu senggang. Ya, sebuah upaya polarisasi gaya hidup agar tetap
terseret pada ceruk kepentingan utama korporasi yakni profitabilitas.
Oh iya melalui coretan ini, mohon
maaf atas ketidak sempatanku memenuhi undangan teman2 sekedar merompa rompai (baca: turut meramaikan)
kegiatan, turut menuangkan pandangan standar dari perempuanG yang sedang setengah senggang ini.
Menyinggung “waktu senggang”
dalam konsepsi general, kebanyakan dari kita menspesialkan malam
minggu sebagai wujud apresiasi waktu senggang. Satnite, yah sebuah modifikasi global atas diksi malam minggu, khususnya pada
lebensraum anak muda kekinian. Sehingga ritual satenite
pun seakan harus diaktualisasikan dengan aksi kekinian.
Ah sayang, hal tersebut
rupanya kontras dengan satniteku kali ini, apakah ini indikasi ketidak
mudaan saya? whatever. saya hanya ingin sok bijak mengamini
bahwa kemewahan bukan garansi kebahagiaan dan kenyamanan.
Sekedar berbagi kisah, Kemarin satnite kulalui dengan menapaki kelokan kelokan jalan di atas mobil pickup pengantar bibit padi para tani di sebuah desa di Gowa, mobil yang rela memberi saya tumpangan di saat genting. Nyaman, saya menikmati perjalanan yang pada dasarnya
bukan untuk bersatnite ria, melainkan perwujudan sikap tanggung jawab
sebagai perempuanG panggilan (baca: kaum freelance). Keasikan perjalanan itupun
memicu dialog ringan antara saya, bapak yang mengumudi, beserta anaknya yang
duduk di tengah. Kami berdialog dengan bahasa sederhana namun dengan intonasi yang menggebu bermaksud
mengimbangi kibasan angin yang nyaris lebih ribut dari suara kami. Sesekali kami menemukan analogi kritis nan menggelitik
dalam pembahasan yang random itu. Mulai dari ranah pendidikan, situasi perekonomian,
sampai pada kebijakan kantong plastik berbayar. Dalam jeda pembahasan, kadang saya refleks menggoyangkan
kepala seakan terpengaruh musik dangdut pilihannya, sama seperti saat larut
dalam lantunan alter bridge. Satu lagi, kalian harus takjub mengetahui bahwa di tengah
antusiasme bapak pengemudi mengorasikan pendapatnya, kecepatan kemudinya tak ikut
kendor, dan dengan lincah mampu menghindari lubang liar yang betebaran. kukira itu satnite yang romantis. Setidaknya menghadirkan sedikit
penyadaran bahwa setiap moment genting kadang perlu disiasati dengan kenekatan, kenekatan yang
akan menghadiahi kita cerita menarik melebihi ekspektasi pengguguran tanggung jawab.
Bapak dan mobil pickup itulah pendukung
penuh keberangkatan saya di malam yang lumayan larut. merekalah musabab hingga
saya sampai di sini, daerah dataran tinggi di kabupaten gowa, yang tentunya lebih
familiar jika langsung kutulis “Malino”. Salah satu
objek yang kebanyakan orang menjadikan daerah ini sebagai opsi untuk menghabiskan
waktu senggangnya.
untuk masyarakat sulsel, siapa yang tak tahu malino? Lembah,
gunung, air terjun, pinus, sampai tenteng dan markisa adalah ornamen2 yang melekat pada eksistensi wilayah
tersebut, sebuah given icon yang terkonstruksi untuk memelihara ingatan
masyarakat tentangnya. Ingatan yang mampu merefleksikan pemaknaan realitas social,
dan tak jarang melahirkan wacana2 analitis tentang apa yang bergeser dan apa yang utuh dari
sekelumit fenomena yang ada.
lembah, gunung, air terjun, merupakan
keniscayaan untuk mentaswirkan keindahan dan kuasaNya. Para pecinta Alam bahkan
rela menaklukan ketinggian dan semak belukar, sekedar mengapresiasi ketakziman
dan kesyukurannya. Dulunya Climbing, hiking, dan penamaan serupa dengan itu boleh
dikata merupakan aktivitas yang memiliki batasan segmen yang jelas (terkait populasi pencinta
alam). Namun semuanya berubah, terlebih pasca boomingnya film 5 cm. ah
gaees, berubahnamo kehidupanga. Sadar atau tidak (semoga sadar), mendaki sebagai
aktivitas pecinta alam pun kini bergeser menjadi trend kekinian penegas
ke’gaul’an para muda (yang tua minggir dulu). Belum lagi dukungan paras artis
yang mengendorse itu memenuhi syarat patut untuk digandrungi, sehingga
tak butuh waktu lama memberi pengaruh kolektif yang berujung pada tuntutan “keinginan ekonomi” para labil.
Jika dulu “Pecinta alam” melakukan perjalanan ekstreem
bermaksud menemukan ruang dialog bersama alam atau setidaknya membuka pikiran
berdialog dengan diri sendiri, sekarang kebanyakan dari kita (bisa jadi termasuk
saya) mendaki untuk membuka ruang dialog pada aplikasi media social saja, sekadar
aktualisasi diri berharap mendapat ratusan like dan comment
sanjungan. aku mendaki, aku berselfie, maka aku ada. moody gaul like this. Perjalanan yang mainstream,
sungguh.
Belum lagi soal pinus, pohon yang juga menjadi icon malino. Di balik kokohnya pohon yang
berderet menjulang tersebut, ia sedang merepresentasikan
sebuah ancaman konflik antara stakeholder. Hutan Pinus, apakah Hutan Adat
ataukah Hutan Negara? Urgensi kebijakan kemudian (seakan) menunjukkan tajinya, memberi
ketegasan garis diametral melalui hirarki penguasaan antara Hak Negara, hak
komunal dan hak individual. Sebagai awam hukum, saya selalu skeptis memaknainya
sebagai pa’balle toli (baca: obat telinga), toh kita tidak bisa menafikan bahwa
kebijakan yang ada cenderung tidak implementatif. Dengan kata lain, syndrome
labilitas pun tidak hanya menjangkiti masyarakat sebagai subjek. Tetapi juga pada
produk hukum yang dianggap sebagai kebijakan namun kontrafaktual dalam realitas
sosialnya. Lagi2 ini menyoal tentang penguasaan ruang ruang produksi, bibit ketimpangan
dan pemberangusan hak ada di sana.
Ah, sudahlah. Mungkin terlau bacrit
dan sok peduli saya menanggapi fenomena ini. sudahlah, untuk sementara biarkan
saya skeptis. Mataku mulai sayu, mungkin ingin tidur.
Sekali lagi maaf atas berbagai moment ketidak
senggangan waktuku di waktu senggangmu. pun sebaliknya. semoga silaturahim tak renggang temans.
Izin, sebelum berdoa biarkan saya
melipat ingatan, melipat ingatan pada kisah lain, tentang segelas hangat
dipeluk genggaman. yah, mungkin ini tentang dia. Dia dan kesederhanaannya.